Perempuan Menggugat

Sunday, February 22, 2009 Writen by Gaza

Sejumlah perempuan di Indonesia telah menjadi ikon. Karya mereka bisa melebihi kaum laki-laki. Keberadaan mereka mampu menegasikan bias gender.

Kiprah para perempuan yang menjadi orang nomor satu di jajaran departemen dan kementrian semakin menunjukkan eksistensi kaum hawa di negeri ini. Bukan sekadar untuk menjadi ikon bagi kiprah dan sepak terjang melawan bias gender, melainkan juga untuk menunjukkan bahwa karya mereka ternyata bisa melebihi karya kaum Adam.

Contoh paling kentara adalah saat publik internasional heboh akibat terbitnya buku Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari berjudul Saatnya Dunia Berubah akhir 2007 silam.

Buku yang diterbitkan dalam dua versi bahasa Indonesia dan Inggris itu merupakan gugatan Menkes terhadap dominasi negara-negara kaya terhadap kebijakan di lembaga dunia semacam Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Perempuan kelahiran Solo, November 1950 silam itu berontak atas ketidakadilan yang dilakukan negara-negara industri terhadap negara berkembang. Penjajahan ekonomi dalam bentuk liberalisasi pasar bagi negara miskin yang belum siap ternyata tidak cukup.

Hal itu masih ditambah penjajahan dalam bidang kesehatan, yakni melalui penguasaan virus penyakit yang nantinya sebagai bahan untuk membuat vaksin. Bahkan sempat juga beredar rumor tentang kesengajaan dibuatnya senjata biologi oleh negara maju guna menguasai ekonomi negara-negara ketiga dalam bidang kesehatan.

Gugatan seorang ibu tiga anak ini berawal dari keharusan negara penderita seperti Indonesia untuk mengirimkan sampel virus flu burung (H5N1) ke laboratorium (colaborating center/CC) WHO berdasar sistem global initiative surveilance network (GISN) yang berlaku lebih dari 60 tahun.

Namun, aturan ini tidak memberikan perlindungan dan keuntungan bagi negara pengirim dan penderita. Hanya negara-negara kaya yang boleh mengembangkan virus menjadi vaksin. Sementara negara miskin dianggap tidak mampu karena dianggap tidak memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Padahal sejak awal munculnya kasus positif flu burung pada 2005, secara rutin Indonesia mengirimkan sampel virus ke laboratorium WHO.

Namun, Siti terkejut ketika mendengar ada salah satu perusahaan farmasi di negara maju mengembangkan virus H5N1 strain Indonesia menjadi sebuah vaksin tanpa pembicaraan dengan Pemerintah Indonesia terlebih dahulu. Sejak itulah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) 1976 itu terus menggugat kewenangan WHO dalam menangani kesehatan masyarakat dunia.

Apalagi belajar dari pengalaman kasus virus cacar dari Indonesia. Atas nama kesehatan dunia, WHO pernah membuat keputusan untuk menghancurkan seluruh laboratorium yang menyimpan virus cacar di dunia. Namun beberapa lama kemudian, ternyata WHO telah memiliki vaksin cacar dengan strain virus asal Indonesia. Ironis, sebab sejak itu baik Indonesia maupun negara-negara berkembang lain harus membeli vaksin cacar dengan harga mahal dan hanya menguntungkan negara produsen vaksin yang rata-rata negara kaya.

Belajar dari kasus inilah Siti Fadilah tidak ingin hal serupa terulang. Melalui virus flu burung dia mulai menggugat tidak hanya eksistensi WHO sebagai badan dunia yang menangani masalah kesehatan, tetapi juga menuntut diubahnya aturan GISN sehingga bersifat adil bagi negara penderita maupun negara miskin.

Polemik perseteruan antara Siti Fadilah dengan WHO ramai menghiasi media lokal maupun internasional sejak 2006 silam. Di satu sisi WHO menuding Indonesia telah membahayakan kesehatan masyarakat dunia karena tidak mau bekerja sama mengirimkan sampel virus. Di sisi lain, Menkes menuding WHO telah merampas hak-hak negara miskin, termasuk Indonesia, melalui pengiriman makhluk jasad renik itu. Bahkan menjelang akhir 2007, Siti menuding WHO telah merampas 58 sampel virus flu burung sembari menegaskan pihaknya akan terus menagih agar virus itu dikembalikan ke Indonesia.

Gaya bicara Siti yang ceplas-ceplos tak urung membuat lembaga dengan kapasitas dunia seperti WHO sering kebakaran jenggot. Indonesia merupakan negara dengan jumlah korban terbanyak flu burung pada manusia, yakni 141 kasus dan 115 di antaranya meninggal dunia (per Desember 2008), sehingga hal itu berbuah dilema. Di satu sisi kasus flu burung di Indonesia butuh secepatnya untuk ditangani.

Sementara untuk membuat vaksin tidaklah murah. Yang pasti, Siti ingin menggugat aturan-aturan WHO yang sudah berlaku tidak adil terhadap negara berkembang seperti Indonesia. Keteguhan Siti Fadilah berbuah manis. Saat diselenggarakan pertemuan negara-negara anggota WHO di Jakarta dalam forum pertemuan tingkat tinggi yang membahas praktik pertukaran virus pada Maret 2007, tercapailah Deklarasi Jakarta dengan 6 butir kesepakatan untuk meninjau aturan pertukaran virus dalam GISN.

Saat itu dukungan dari beberapa negara terhadap Indonesia mulai bermunculan. Hal itu semakin kentara pada konferensi menteri-menteri untuk pandemi influensa di New Delhi yang diikuti 100 negara, Desember 2007. Dalam momen inilah Siti yang juga mendapat kesempatan menyampaikan pidatonya meraih dukungan dari banyak negara. Dalam kesempatan ini juga dicetuskan ide tentang pembentukan Poros Selatan-Selatan guna mengimbangi dominasi negara maju.

Banyak negara berkembang seperti Mesir merasa heran dengan keberanian Siti. "Mereka bertanya apakah Anda tidak pernah mendapatkan bantuan sehingga Anda berani kepada mereka (WHO)?" kisah Siti menirukan kalimat Ketua Komite Nasional Flu Burung Mesir ketika berbincang dengannya di India.

Kini, gugatan Indonesia makin berlanjut melalui berbagai forum diskusi yang cukup panjang dan alot antara negara-negara anggota WHO. Siti menyatakan, aturan baru sebagai revisi atas GISN yang sudah diberlakukan WHO selama puluhan tahun rencananya akan diumumkan Mei 2009 ini, bertempat di Jakarta.

"Rencananya Mei mendatang sudah diumumkan hasilnya," katanya kepada SINDO. Menurut dia, gugatannya terhadap WHO merupakan salah satu bentuk tindakan yang didasari rasa nasionalisme.

Spesialis jantung yang pernah meraih penghargaan pada Kongres Kardiologi ASEAN 1988 atas karya penelitiannya tentang kandungan asam omega dalam ikan ini menegaskan bahwa bangsa Indonesia sedang terancam krisis jati diri. Ini merupakan dampak liberalisasi dan globalisasi dan Indonesia gagal mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Meski demikian, agar tidak hanya menjadi obyek konsumen dan penonton belaka, Indonesia harus tegas dalam sikapnya menghadapi globalisasi.

"Kita akan membuka tangan kita lebar kepada orang asing, mari kita bekerja sama. Tetapi kita harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, adil, transparan, dan equity. Ini jangan diartikan bahwa nasionalisme terus tidak mau bekerja sama dengan orang lain. Bukan itu," ujarnya.

Keprihatinan akan krisis jati diri bangsa ini juga diungkapkan Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono. Menurut perempuan kelahiran Yogyakarta, Maret 1947 silam ini bangsa Indonesia sudah mulai melupakan sejarah dan keinginan para pendiri (founding fathers).

Buktinya, telah lama bangsa ini salah urus, antara komponen yang ada tidak bersatu, saling bercerai akibat kepentingan kelompok tertentu.Tidak sedikit hasil sumber daya alam (SDA) Indonesia yang tidak bisa dinikmati bangsa sendiri, tapi justru oleh bangsa asing. Selain itu, sumber daya manusia (SDM) potensial pun ramai-ramai melakukan brain drain akibat di dalam negeri tidak ada wadah untuk menampung mereka.

"Ada kepentingan kelompok tertentu yang menjadi penyebab. Harusnya kepentingan rakyat di atas segala-nya.Itu yang kita lupa. Harus ada komitmen bersama. Kalau kita melihat dari roh UUD di mana kepentingan rakyat merupakan yang utama, ada UU dan kebijakan yang kurang sejalan dengan hal itu," paparnya.
Shortcut

Post a Comment